Mediatamanews.com-Event seni dan budaya bertajuk Sharing Time : Megalithic Millennium Art, digelar di Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba). Kegiatan ini merupakan refleksi kilas balik ke masa depan sekaligus menjadi ruang publik dalam komunikasi yang sejajar antara satu sama lain, serta ruang diskusi dengan memunculkan kembali kebudayaan leluhur di daerah setempat.
Melalui kegiatan yang digagas pencipta Joget Amerta, Almarhum Suprapto Suryodarmo tersebut, Pemkab Tubaba juga ingin menancapkan kebudayaan berwawasan ekologi sebagai simbol hubungan manusia dengan alam. Hal ini juga diwujudkan melalui konsep mitologi dan filosofi dengan menempatkan Las Sengok, Kecamatan Tulangbawang Udik sebagai simbol megalitikum yang menandai adanya relasi hubungan manusia dengan alam ini.
“Ditempatkannya sebuah konsep mitologi ini adalah sebagai pengingat bagi kita semua agar terus menjaga kelestarian alam beserta isinya. Ini pun akan menjadi sebuah tanda yang nantinya menjadi kenangan untuk masa-masa yang akan datang,”ungkap Umar Ahmad, Bupati Tubaba saat membuka Sharing Time : Megalithic Millennium Art di Taman Budaya Kota Ulluan Nughik, Rabu (22/1).
Selain itu, Umar Ahmad juga menjelaskan tentang Kota Budaya Ulluan Nughik yang merupakan simbol awal kehidupan. Dalam bahasa Lampung Tubaba “Ulluan” memiliki arti “Atas” sedangkan “Nughik” berarti “Kehidupan”.”Sebuah kota awal dari kehidupan yang diniatkan menjadi sebuah kota budaya berbasis ekologi. Dengan niat dan visi itu, almarhum Suprapto Suryodarmo merespon dengan mengajak seluruh ilmuwan, budayawan, seniman yang berasal dari seluruh dunia untuk hadir ke Tubaba,”ulasnya.
Dalam rangka memperkuat itu semua, lanjut Bupati, telah disusun langkah dan strategi yang menyentuh kepada wilayah-wilayah yang mitologi dan filosofis. Salah satunya adalah menyepakati bahwa di tempat ini (Ulluan Nughik) telah lahir sosok makhluk yang secara khusus disebut nama “Bunian”, sosok makhluk yang nantinya akan menjaga pepohonan, menjaga sumber sumber air, dan kelestarian alam di Tubaba.”Mungkin tutur ini nanti akan menjadi skema pembelajaran di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang ada di Tubaba kenapa lahir Bunian di tempat ini,”terangnya.
Lahirnya Bunian, lanjutnya karena dalam konsep-konsep mitologinya orang Lampung tidak mengenal konsep Pandawa, tapi hanya mengenal konsep Kurawa. Jadi, orang Lampung mengajarkan tentang kebaikan dengan banyak menyebut bagi orang yang melakukan keburukan dengan istilah sosok makhluk yang menggambarkan sifat-sifat buruk manusia, seperti sifat tamak, rakus, dan sifat buruk lainnya.
“Artinya, ketika kita tidak mau disebut seperti itu, maka harus melakukan kebaikan. Tapi, tidak ada sebutan bagi orang yang berbuat baik di tanah Lampung. Kenapa hal itu terjadi karena bagi orang Lampung berbuat baik itu adalah kewajiban, tidak perlu dihargai dan diagung-agungkan. Tapi di masa sekarang rasanya penting bahwa kebaikan itu harus kita sebarluaskan kepada orang lain sehingga kebaikan yang kita tanam ini bisa benar-benar meluas di tanah yang kita cita-citakan ini,”pungkasnya (ADV/Jo)